Selasa, 20 April 2010

2 Biografi Terkait SUPERSEMAR

2 Biografi Terkait SUPERSEMAR

Dua Biografi Terkait Supersemar
Oleh : Asvi Warman Adam Ahli Peneliti LIPI dan Visiting Fellow di KITLV Leiden
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt

Meskipun ada undang-undang yang menyatakan bahwa seseorang yang menyimpan arsip
negara dapat dihukum penjara, naskah asli Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 tak
kunjung bersua. Entah siapa yang menyimpan dokumen yang begitu penting dalam proses
peralihan kekuasaan di Indonesia.
Penelitian sejarah tentu tidak tergantung semata-mata kepada adanya arsip yang otentik, tetapi
juga menyangkut antara lain tentang proses keluarnya surat perintah yang berdampak sangat
besar dalam sejarah negara. Pada buku sejarah yang diajarkan di sekolah terkesan bahwa surat
itu didapatkan secara spontan. Tiga orang jenderal seusai sidang kabinet yang dihentikan
secara mendadak tanggal 11 Maret 1966 berembuk di tangga Istana Negara lalu menemui
Soeharto di rumahnya di Jalan Agus Salim, Menteng. Setelah berunding, mereka bertiga pergi
ke Istana Bogor. Malamnya setelah memperoleh surat perintah dari Presiden Soekarno kepada
Mayor Jenderal Soeharto mereka pulang ke Jakarta.
Seakan-akan semuanya berjalan mulus. Tidak ada tekanan apalagi paksaan. Bahkan dalam
buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA yang disunting oleh Nugroho
Notosusanto dan Yusmar Bari digambarkan bahwa ketiga jenderal itu sengaja berkunjung ke
Bogor agar Presiden Soekarno tidak kesepian.
Bujukan
Betulkah surat itu diberikan oleh Presiden dengan sukarela atas inisiatifnya sendiri? Kesaksian
Wilardjito dari Yogyakarta yang menghebohkan itu --penyerahan surat itu melalui todongan
senjata terhadap Bung Karno-- bisa saja dibantah. Namun tidak pelak lagi bahwa proses
keluarnya Supersemar diwarnai dengan bujukan dan tekanan. Hal ini terlihat pada dua biografi
tokoh yang terlibat dalam proses tersebut sebelum tanggal 11 Maret yaitu Jenderal Alamsjah
Ratuprawiranegara (Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, 1995) dan pengusaha
Hasjim Ning (Pasang Surut Pengusaha Pejuang, 1986).
Rasanya mustahil keduanya bersekongkol mengarang cerita bohong. Memang pada biografi
itu terdapat perbedaan mengenai terjadinya peristiwa yang melibatkan mereka, yang satu
menyebut tanggal 6 Maret dan satu lagi mengatakan tanggal 9 Maret 1966. Namun mengenai
substansinya mereka sejalan. Jadi pada tanggal 6 Maret malam Hasjim Ning dipanggil oleh
Alamsjah untuk datang ke rumah pengusaha Dasaat di Pegangsaan, Jakarta. Baik Dasaat
maupun Hasjim dikenal dekat dengan Bung Karno. Kedua pengusaha itu diminta oleh
Alamsjah untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaannya kepada
Mayor Jenderal Soeharto.
Terjadi perdebatan mengenai istilah penyerahan kekuasaan atau pemerintahan. Jadi Soekarno
tetap berkuasa (sebagai Presiden) sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah Soeharto.
Apa pun yang disepakati di rumah itu, Soeharto telah menanti hasilnya di tempat lain.
Pada tengah malam dibuat surat keterangan yang ditandatangani Soeharto bahwa kedua
pengusaha diutus untuk menemui Presiden Soekarno. Surat ini memperlihatkan bahwa
Soeharto mengetahui dan mendukung manuver yang dijalankan oleh Alamsjah. Berkat surat
itu pula kedua pengusaha bisa menembus dua lapis penjagaan di sekitar Istana Bogor.
Pada lapis terdalam terdapat pasukan Cakrabirawa yang setia kepada Bung Karno. Di
lingkaran sebelah luar terdapat pasukan Kostrad yang mengepung Istana. Kedua pengusaha itu
sempat bermalam di Istana Bogor dan Hasjim tidak lupa membawakan makanan kesukaan
Bung Karno. Bila saatnya tiba, mereka menyampaikan pesan Soeharto kepada Presiden
Soekarno. Soekarno tidak banyak bicara mengenai hal ini, tetapi pada pokoknya ia menolak
permintaan tersebut.
Akhirnya Dasaat dan Hasjim Ning pulang ke Jakarta tanpa membawa hasil. Meskipun
demikian dari kisah nyata ini dapat diambil kesimpulan bahwa Soeharto telah berupaya
sebelum keluarnya Supersemar untuk membujuk Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan
atau apa pun istilahnya. Karena bujukan itu tidak berhasil maka dilakukan usaha yang lebih
keras yaitu tekanan atau mungkin dapat disebut paksaan. Masyarakat Indonesia yang minus
dokumen sejarah terbantu oleh adanya biografi kedua tokoh tadi. Memang ada kesan bahwa
riwayat hidup seorang besar hanya ''kecap'' tentang kehebatan dirinya, tetapi sesungguhnya
dalam hal tertentu atau menyangkut suatu peristiwa, kisah itu --setelah dicek-silang-- bisa
dijadikan rujukan.
Dengan demikian, ketiga jenderal (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M Jusuf) yang
datang ke Istana Bogor tanggal 11 Maret 1966 bukanlah untuk menemani Bung Karno agar
beliau tidak kesepian seperti ditulis dalam buku pelajaran sejarah pada era Orde Baru. Missi
mereka itu tercakup dalam konteks situasi yang dibangun sebelumnya, yaitu kekuasaan harus
direbut dengan segala cara, baik dengan bujukan atau, kalau tidak bisa, dengan tekanan dan
paksaan. Semoga suksesi kekuasaan semacam ini tidak terulang lagi dalam sejarah Indonesia.
Rabu, 09 Maret 2005, Republika
Date: 2005/10/11
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=51
Ini Pelajaran Sejarah, Bung!
Ini Pelajaran Sejarah, Bung!
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/22/humaniora/1980569.htm
Senin, 22 Agustus 2005
Melalui berita di TV swsata, kemudian diperkuat oleh tulisan Asvi Warman Adam ( Kompas,
1 Juli 2005), penulis mendengar/membaca bahwa mata pelajaran Sejarah kembali bermasalah.
Dikatakan kembali bermasalah karena pada tahun 1980-an muncul mata pelajaran PSPB (di
samping masih ada PMP dan Sejarah), sehingga terjadi tumpang tindih antara mata pelajaran
PMP dan Sejarah. Kemudian, belum lama ini, tahun 2002, ada berita yang menghebohkan,
yakni mata pelajaran Sejarah akan dihapus dan digabung dengan mata pelajaran PPKN/PKN.
Heboh yang menyangkut mata pelajaran Sejarah kali ini adalah bahwa Departemen
Pendidikan Nasional belum akan menerapkan Kurikulum 2004 untuk bidang studi Sejarah.
Khusus untuk mata pelajaran Sejarah, pemerintah akan menerapkan kembali Kurikulum 1994
beserta Suplemennya (1999). Buku mata pelajaran Sejarah yang sempat beredar akan ditarik
kembali. Tepatkah kebijakan Depdiknas tersebut?
Isi Suplemen 1999
Kurikulum 1994, Suplemen GBPP Mata Pelajaran Sejarah, Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi
Guru Sekolah Menengah (SMU/MA/SMK), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, 1999, sudah tidak
mencantumkan lagi nama PKI di belakang G30S. Lebih dari itu, suplemen ini juga tidak
menyebut lagi PKI sebagai pelaku G30S, apalagi sebagai dalang G30S.
Di tengah-tengah kecurigaan dan persaingan politik yang semakin tinggi itu, sekelompok
pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung melakukan aksi bersenjata di Jakarta.
Kelompok bersenjata ini bergerak meninggalkan daerah sekitar Bandar Udara Halim
Perdanakusumah pada tengah malam di penghujung hari Kamis tanggal 30 September dan
awal 1 Oktober 1965. Mereka menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat.
Di dalam operasi itu, para tentara itu berhasil menculik 6 orang perwira tinggi Angkatan
Darat. Jenderal AH Nasution yang menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil
meloloskan diri, dan mereka hanya berhasil menangkap ajudan KSAB.
Penculikan dan pembunuhan terhadap perwira Angkatan Darat juga terjadi di Yogyakarta
(Suplemen, 8). Kutipan di atas ini tidak menyebut PKI sebagai pelaku, namun hanya
menyebutkan nama Letkol Untung.
Mengenai apakah PKI berperan sebagai dalang G30S, Suplemen Sejarah mengatakan
demikian. Tidak mudah menjawab pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya G30S selain Letnan Kolonel Untung, karena sumber-sumber yang tersedia sampai
saat ini hanya menghasilkan interpretasi yang berbeda.
Setiap interpretasi menunjukkan pada orang atau kelompok yang berbeda, sesuai dengan sudut
pandang masing-masing. Satu pendapat menyatakan bahwa peristiwa itu berkaitan erat dengan
strategi blok Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris dalam rangka perang dingin.
Berkaitan dengan pendapat pertama ini, ada juga yang berpendapat bahwa gerakan ini
dilakukan oleh Angkatan Darat yang berhasil memperalat PKI dengan dukungan dinas
intelijen asing.
Pendapat lain menuju pada keterlibatan Presiden Soekarno yang memanfaatkan
ketergantungan PKI kepadanya untuk melawan kelompok oposisi, khususnya dari Angkatan
Darat. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa PKI yang menjadi dalang gerakan ini dengan
memperalat unsur ABRI, dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya.
Selain itu ada yang berpendapat bahwa gerakan ini merupakan akibat dari konflik di dalam
tubuh Angkatan Darat, yang melibatkan kelompok pendukung dan anti-Presiden Soekarno,
yang berhasil memanfaatkan PKI. Dalam hubungan inilah muncul pendapat bahwa Mayor
Jenderal Soeharto memiliki keterkaitan dengan gerakan tersebut.
Akhirnya, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam tragedi
nasional itu (Suplemen, 9).
Kutipan di atas ingin mengatakan bahwa dalang G30S bisa saja AS/blok Barat, bisa saja PKI,
bisa Soekarno, bisa saja Angkatan Darat/Soeharto. Siapa pelaku yang benar, belum jelas,
karena memang keterbatasan sumber.
Dalam ilmu sejarah, siapa pun tidak boleh menyatakan suatu peristiwa sebagai benar-benar
terjadi kalau sumbernya tidak cukup kuat.
Sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan perkiraan. Bahwa indikasi keterlibatan PKI, AS/Blok
Barat, Soekarno, Angkatan Darat/Soeharto ada, bukan serta merta bahwa pihak-pihak (salah
satu pihak, PKI misalnya) adalah dalang dari G30S.
Apakah Letnan Kolonel Untung dkk yang melakukan aksi bersenjata orang PKI atau
digerakkan oleh PKI, harus dibuktikan dulu. Bukan semata-mata karena Harian Rakyat
mendukung G30S, lalu disimpulkan bahwa G30S dilakukan oleh PKI. Tentu tidak semudah
ini bukan?
Dengan uraian di atas, sekali lagi mengatakan bahwa Suplemen Sejarah tahun 1999 sudah
tidak menyebut lagi PKI sebagai dalang G30S. Hal ini juga bukan berarti bahwa PKI pasti
bukan dalangnya. Tentang siapa dalang G30S, masih harus diteliti lebih lanjut.
Penulis belum memiliki buku sejarah yang baru itu, apalagi membacanya. Haya saja, kok agak
aneh, gara-gara buku itu tidak menguraikan pemberontakan PKI tahun 1965, lalu ditarik dari
peredaran. Lalu pelajaran sejarah akan dikembalikan sesuai dengan Kurikulum 1994 dan
Suplemennya 1999. Sedangkan dalam Suplemen 1999, jelas-jelas ditulis bahwa PKI belum
terbukti sebagai pelaku tunggal G30S. Lalu?
Secara kebetulan penulis menemukan buku sejarah untuk SMU kelas III, satu dari terbitan PT
Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2001; satunya lagi dari penerbit Erlangga, Jakarta, 2003; lainnya
terbitan Grafindo Media Prtama, 2003. Baik buku terbitan Grafindo (halaman 40-47), serta
buku terbitan Erlangga (halaman 42-47) tidak mencantumkan lagi nama PKI di belakang nama
G30S. Hanya buku terbitan Galaxy Puspa Mega (halaman 51-63) mencantumkan nama PKI di
belakang nama G30S.
Putusan MK
Kebijakan Mendiknas Nomor 7/2005 yang menghentikan uji coba Kurikulum 2004 untuk
mata pelajaran Sejarah dan larangan penggunaan buku teks mata pelajaran Sejarah yang
disusun berdasarkan standar kompetensi Kurikulum 2004 tersebut bahkan dapat bertentangan
dengan semangat keputusan Mahkamah Konstitusi soal eks PKI.
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 (g) Undang-Undang
Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi berlaku. Pasal itu adalah larangan bagi anggota
organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau yang terkait dengan G30S/PKI,
untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Pasal
itu bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak membenarkan diskriminasi terhadap warga
negara (Kompas, 26 Februari 2004).
Semangat keputusan MK ini adalah mengampuni orang-orang eks PKI (yang belum tentu
benar-benar bersalah). Lebih-lebih lagi, pemojokan nama PKI sebagai pelaku G30S (dan
nyatanya belum benar-benar terbukti), membawa akibat buruk bukan saja kepada orang-orang
PKI (karena tidak jelas posisinya pada tahun 1965), namun juga (terlebih) bagi keturunan PKI
yang sepertinya harus menanggung dosa asal.
Kasihan mereka, memperoleh sanksi sosial, sulit mencari sekolah, sulit mencari pekerjaan,
dan sebagainya.
Sebagai catatan penutup, kebijakan Depdiknas untuk menarik buku pelajaran sejarah, hanya
karena buku tersebut tidak mengulas pemberontakan PKI tahun 1965, sebaiknya dikaji ulang
karena keterlibatan PKI secara tunggal pada tahun 1965 belum terbukti.
Beban eks PKI dan keturunannya jangan diperpanjang lagi. Akan lain halnya dengan ulah PKI
pada tahun 1948.
AA PADI, Mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta
Date: 2005/10/12
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=54
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Konspirasi dan Genosida:
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal
OLEH BONNIE TRIYANA
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari
berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan
Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati
ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah
dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal
saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen.
S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo
dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri
dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya.
Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui
corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah
gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden
Soekarno dari aksi coup d�� etat. Menurut mereka, coup d�� etat ini sejatinya akan dilancarkan
oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang
tahun ABRI yang ke-20.
Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di
sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara
penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh
aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara.
Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto
jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di
luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran
pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia
sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung
tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4
Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan
sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak
habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan
memotong kemaluannya.5
Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita
tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di
Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang
pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.
Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.
Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya
seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.
Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan
mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ��maju�� itu
kocar-kacir.
Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan
surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan
organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d��etat sesungguhnya. Bersamaan ini,
dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.
Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di
Daerah.
Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan
dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota
organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal
serupa.
Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang
Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan
unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di
beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan
masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam
musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik
tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di
masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam
sekian lama.8
Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri.
Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis
menuduh umat Islam telah mengobarkan ��Jihad�� untuk membunuh orang komunis dan
mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan
Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini
merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok.
Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk
menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim
menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang
berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua
kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik
temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.
Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat
dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di
daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di
belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan
aktif dalam pembunuhan massal.
Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang.
Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis
komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam
Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini.
Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis
kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche
Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita
pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto
yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto
melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang
anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11
Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih
mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya
konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk
melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai
senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan
baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan
PKI.
Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam
dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada
peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang
memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.
Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi
penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI
atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang
paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.
Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang
terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari
sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk
kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun.
Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode
ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya
karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia �V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman �V
militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap
Soekarno �V Sentris atau dikenal sebagai SS.13
Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik
(Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama
Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama
(SS) ditangkap.
Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami
sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang
berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971,
kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.
Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai
massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi
politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14
namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep
massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo,
Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir
dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde
Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua
orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15
Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida.
Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata
karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan
politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para
pembunuh.
Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban.
Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh.
Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:
��saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya
dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di
Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk
mengakui bahwa saya anggota PKI.��17
Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan
oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah
sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18
Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam
mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat.
Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap
pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja
sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi
antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer
memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.
Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717
sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal
sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap
selama tahun 1968.
Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun
1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di
Selatan Purwodadi:
��saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang
tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya
saya dan dua teman saya��21
di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot
atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki
hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi
menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi.
Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari
uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika
seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang
pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing
pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah
memiliki pengaruh besar.
Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki
pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang
Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan
kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI.
Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi
perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang
karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I
atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira
mentok ini.23
Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat
Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan
stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah
timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24
Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.
Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah
Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan.
Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah
momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap
tahunnya.
Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu
jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan
melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya.
Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan
ketakutan masyarakat akan komunisme.25
Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 �V 1980-an (dalam
beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru
mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru,
Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk
melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti
Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi
A, B dan C.26
Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan
simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa
pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah
kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka
dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan
berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya,
keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi
istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat
itu di dalam Kamp di Purwodadi.
Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi
mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan.
Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan
pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI.
Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai ��kampung janda�� karena suami-suami
mereka diciduk oleh militer.
Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam
peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C
Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 �V 1000 orang. Sementara itu
menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban
berkisar 6.000 jiwa.
Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni.
Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.
Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik
Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di
pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan
pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan
Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau
Buru pada tahun 1979.
��Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang
saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan.
Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk
diinterogasi��31
Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah
satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk
memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan
tahanan politik.
Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan
memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah
menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.
Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam
KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ��elek terus�� (Indonesia: Jelek Terus).
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru
dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun,
sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan
sendirinya.*
�h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for
In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.
*Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
(Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis
skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi.
3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu,
Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan
Gramedia Populer, 2000) Hal. 8
4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap
sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes
dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138.
5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan
Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498.
6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah
mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat
Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI,
2000), hal. 129.
7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal.
457.
8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi
dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001)
9 ��Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI
dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum
Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ��kaum atheis�� dan
mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo
dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party
and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash
University, 1972), hal. 48.
10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969.
11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre
from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who
had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The
Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205
12 Memorandum Intelejen CIA, ��Indonesian Army Attitudes toward Communism��
Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119,
Doc. 119, butir 1.
13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA)
Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S.,
mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun
1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali
Sastroamidjojo �V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya.
14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and
unity nescessary for development. Far better to let the population ��float�� without party
contact in the five year period during elections�K.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald
dalam Suharto��s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109.
15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ��Think �V Tanks�� dalam
Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore:
ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237.
16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State
Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam
Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813.
Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246
17 Wawancara dengan Bapak Sp.
18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969.
19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan
dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna
menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik
berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupa�Klebih lanjut periksa Onghokham dalam
Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103.
20 ��Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering
berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak��. Wawancara dengan
Bapak A
21 Wawancara dengan Bapak Wt
22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,
kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam
TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch
dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76.
23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara
politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah
tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga
jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B
setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh
militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil
tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M.
Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori
Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil �V Militer dan Transisi
Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50.
24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar
negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat
Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang
hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh
menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat
negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376.
25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada
Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut.
Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum
tuntas.
26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa
Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu
1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara
langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada
wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B
menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada
sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam
Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication,
1977), hal. 31-44.
27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220.
28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969.
29 Wawancara dengan Bapak S.
30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It��s the Military, Stupid! Dalam Freek
Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV,
2002), hal. 199.
31 Wawancara dengan Bapak Rk.
Date: 2005/9/13
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28
Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi
SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI
Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebihdahulu
menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya
sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective storyyang cari
pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor.
Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai.
Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain
saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah
pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan
di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa
untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa
keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun
1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar
bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya
golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah,
dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut
kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun
dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio
tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas
menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut
saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar
bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan.
De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den
Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia
hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban
saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip
kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan
dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di
Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari
tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell
Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di
Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis,
seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi
untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari
bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari
laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan
Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia
berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat
sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan
tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang
terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah
golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku
p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan
menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam
peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi
jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir
tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah
kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam
tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam
karangan di "Groene Amsterdammer" itu:
"Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan".
Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde"
mengumumkan wawancara dengan saya.
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting
dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya
proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang
terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang
provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah
wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya
Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan
bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi
bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari
kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar
Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul
berita itu: "Apakah Sjam double agent?"
Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam
semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan
sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu
MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia
selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu
di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu
Aidit tidak dapat membela diri dan membantah
segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu
proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti
Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.
Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan
kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk
mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret
bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double
agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula
bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8
April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam
wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah
satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah
yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu:
"Aneh sekal i: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju
kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah
pun ya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri
pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang
bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu
dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main
peranan yang utama dalam komplotan.
Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak
diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka
dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani
tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh
juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan,
sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan
mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan
sukar daripada detective-story".
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold
Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in
Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto,
agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel
Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30
September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup
panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit.
Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada
di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah
sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya.
Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini
menjadi jelas
bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan
sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan
ia
dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap
di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah".
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya
pengakuan ini dari oeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira
empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' -
the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan
hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam
sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk
menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka �V tetapi sukar membuktikan itu selama
Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal
yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini?
Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh
karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami:
Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak
mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya
kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29
Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht
van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?).
Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam
peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke
Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa
itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal
of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The
Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa
dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut
pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat
berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27
Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak t
ermasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11
malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk
membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak
berani melakukannya di tempat umum."
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam
sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat
seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau
menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia
terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal
Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi,
Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.
Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' dan tidak dapat menghadiri
sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu
tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di
sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang
dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi
keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan
dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia
mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia
menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari
Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya
pada jam 8 untuk berunding.
Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh
dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap
Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia
yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan
lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda,
tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu
serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik
selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri!
Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama
ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando
Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan
Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia
minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan
pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang
tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit.
Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan
Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak
pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami
punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya
tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak
diperhatikan.
Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi
disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau
Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan
Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia
menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya
lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien,
bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa
Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar
dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderaljenderal
kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib
malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa
Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya di
kurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa
memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto
terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib
bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua
orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup
itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan
yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu
seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada
Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1
Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara
atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak
langsung' dalam peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih
dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto
tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa
Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya
dalam Kodam V Jakarta.
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira
tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang
saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya
pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih
dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan
Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah
ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu
berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan
menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut
pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari
rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.
Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu
peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala
kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi
pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia
dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya
keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas
perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan
DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu
dibawa ke Lubang Buaya, tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah
Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu
alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia
yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri
yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya'
kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi
bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa
Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan
pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin
bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut
menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Soeharto Dalang G30S ?
Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA.
Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai
sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu,
kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan
Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri
dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada
Soekarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam
proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar,
dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung
Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang,
yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri
Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak
Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar
pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung
Akademi Hukum Militer di Jakarta. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu
pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung
Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor
S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober
pagi . Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar
orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah
jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon
perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai
menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman
sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal
Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di
sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga
diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta
dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden
Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan
KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu
yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan
akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN
DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai
kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan
kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan
PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu
pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul
pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan
mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal.
Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam
ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari
jawaban atas pertanyaan yang masih ada.
Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa
Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat
mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti
BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi
dan
sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling
bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang
memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono.
Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk
membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya,
bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu
nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia"
pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap
PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus
dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence,
dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro.
Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela
diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967
terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2)
kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti
istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.
Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana
dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan
politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu
ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas
dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan
Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang
dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa
karangan penting tentang campurtangan A.S.
dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific
Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam
bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis
seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan
lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya?
Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S.
maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh
PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf
CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi
bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang
termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang
judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari
ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk
tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan
tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga.
Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia
tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup
dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal
itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat
rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh
Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh
suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk
anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan
supaya arsip itu akan 'de-classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan
dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro
pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk
menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam
(ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barangbarang
itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat
dari Kedutaan A.S. ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara
lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno:
misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara
Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang
mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal
2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto
dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat
dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah
peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk
buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana
Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana
rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas
perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan
dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka
suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak
negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor"
2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu
rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu
agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia.
Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya
sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto
bukanlah suatu rahasia.
Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre
benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah
memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu.
Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini
telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di
Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada
Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru
bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun
mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu.
Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama
sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup
mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali
tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak
setengah atau satu juta.
Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela
perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5
Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah
membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit
tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan
leluasa dapat menyiar-kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto
dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah
yang bertanggung-jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto
menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para
pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang
pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu
dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI
1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam
peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat
dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965
saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak
semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI.
Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa
semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian
pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan
pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau
Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih.
Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu,
siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang
paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri.
Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1
Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan.
Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka
berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan.
Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat,
sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk
menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula
menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar
mereka itu.
Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan.
Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '.
Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun
lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman
mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk
kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri
dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini
ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika
Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi
dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal
dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi
dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra,
Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan
jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan
seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban
lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1
Oktober 1965.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan
tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di
sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk
mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagibagikan
pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderaljenderal
itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah
bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang
harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana
dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman
'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka
gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka.
Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia",
memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu
sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun
telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah
dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu
telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati.
Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya
mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun
dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang
tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan
memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa
semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri,
dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada
'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah.
Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah
di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama
orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh
kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu.
Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah,
sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar
orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada
justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika
Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh!
Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!"
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan
yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan
gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme,
dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.
Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH
yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem
diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang.
Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim
Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak
demokrasi yang semu belaka.
Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak
mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang
ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis
yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan
kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam.
Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis
kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan
bangga diri.
Terima kasih!
Date: 2005/11/2
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=71
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Konspirasi dan Genosida:
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal
OLEH BONNIE TRIYANA
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari
berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan
Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati
ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah
dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal
saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen.
S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo
dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri
dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya.
Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui
corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah
gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden
Soekarno dari aksi coup d�� etat. Menurut mereka, coup d�� etat ini sejatinya akan dilancarkan
oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang
tahun ABRI yang ke-20.
Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di
sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara
penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh
aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara.
Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto
jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di
luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran
pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia
sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung
tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4
Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan
sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak
habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan
memotong kemaluannya.5
Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita
tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di
Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang
pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.
Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.
Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya
seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.
Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan
mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ��maju�� itu
kocar-kacir.
Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan
surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan
organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d��etat sesungguhnya. Bersamaan ini,
dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.
Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di
Daerah.
Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan
dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota
organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal
serupa.
Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang
Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan
unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di
beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan
masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam
musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik
tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di
masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam
sekian lama.8
Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri.
Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis
menuduh umat Islam telah mengobarkan ��Jihad�� untuk membunuh orang komunis dan
mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan
Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini
merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok.
Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk
menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim
menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang
berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua
kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik
temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.
Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat
dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di
daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di
belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan
aktif dalam pembunuhan massal.
Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang.
Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis
komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam
Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini.
Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis
kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche
Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita
pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto
yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto
melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang
anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11
Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih
mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya
konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk
melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai
senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan
baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan
PKI.
Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam
dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada
peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang
memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.
Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi
penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI
atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang
paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.
Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang
terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari
sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk
kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun.
Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode
ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya
karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia �V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman �V
militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap
Soekarno �V Sentris atau dikenal sebagai SS.13
Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik
(Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama
Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama
(SS) ditangkap.
Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami
sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang
berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971,
kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.
Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai
massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi
politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14
namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep
massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo,
Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir
dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde
Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua
orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15
Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida.
Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata
karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan
politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para
pembunuh.
Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban.
Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh.
Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:
��saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya
dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di
Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk
mengakui bahwa saya anggota PKI.��17
Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan
oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah
sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18
Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam
mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat.
Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap
pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja
sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi
antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer
memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.
Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717
sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal
sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap
selama tahun 1968.
Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun
1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di
Selatan Purwodadi:
��saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang
tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya
saya dan dua teman saya��21
di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot
atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki
hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi
menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi.
Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari
uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika
seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang
pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing
pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah
memiliki pengaruh besar.
Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki
pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang
Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan
kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI.
Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi
perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang
karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I
atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira
mentok ini.23
Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat
Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan
stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah
timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24
Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.
Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah
Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan.
Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah
momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap
tahunnya.
Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu
jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan
melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya.
Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan
ketakutan masyarakat akan komunisme.25
Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 �V 1980-an (dalam
beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru
mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru,
Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk
melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti
Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi
A, B dan C.26
Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan
simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa
pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah
kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka
dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan
berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya,
keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi
istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat
itu di dalam Kamp di Purwodadi.
Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi
mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan.
Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan
pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI.
Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai ��kampung janda�� karena suami-suami
mereka diciduk oleh militer.
Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam
peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C
Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 �V 1000 orang. Sementara itu
menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban
berkisar 6.000 jiwa.
Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni.
Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.
Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik
Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di
pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan
pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan
Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau
Buru pada tahun 1979.
��Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang
saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan.
Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk
diinterogasi��31
Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah
satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk
memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan
tahanan politik.
Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan
memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah
menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.
Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam
KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ��elek terus�� (Indonesia: Jelek Terus).
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru
dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun,
sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan
sendirinya.*
�h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for
In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.
*Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
(Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis
skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi.
3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu,
Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan
Gramedia Populer, 2000) Hal. 8
4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap
sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes
dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138.
5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan
Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498.
6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah
mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat
Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI,
2000), hal. 129.
7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal.
457.
8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi
dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001)
9 ��Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI
dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum
Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ��kaum atheis�� dan
mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo
dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party
and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash
University, 1972), hal. 48.
10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969.
11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre
from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who
had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The
Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205
12 Memorandum Intelejen CIA, ��Indonesian Army Attitudes toward Communism��
Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119,
Doc. 119, butir 1.
13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA)
Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S.,
mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun
1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali
Sastroamidjojo �V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya.
14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and
unity nescessary for development. Far better to let the population ��float�� without party
contact in the five year period during elections�K.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald
dalam Suharto��s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109.
15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ��Think �V Tanks�� dalam
Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore:
ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237.
16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State
Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam
Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813.
Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246
17 Wawancara dengan Bapak Sp.
18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969.
19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan
dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna
menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik
berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupa�Klebih lanjut periksa Onghokham dalam
Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103.
20 ��Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering
berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak��. Wawancara dengan
Bapak A
21 Wawancara dengan Bapak Wt
22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,
kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam
TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch
dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76.
23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara
politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah
tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga
jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B
setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh
militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil
tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M.
Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori
Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil �V Militer dan Transisi
Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50.
24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar
negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat
Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang
hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh
menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat
negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376.
25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada
Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut.
Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum
tuntas.
26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa
Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu
1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara
langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada
wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B
menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada
sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam
Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication,
1977), hal. 31-44.
27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220.
28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969.
29 Wawancara dengan Bapak S.
30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It��s the Military, Stupid! Dalam Freek
Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV,
2002), hal. 199.
31 Wawancara dengan Bapak Rk.
Date: 2005/9/13
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28
tniad Page 1 of 7
SOB Dalam Perspektif Sejarah
Oleh: M Amin Zuhri
Di samping untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayahnya terhadap segala macam
ancaman dan gangguan. Setiap negara pasti mempunyai tujuan untuk memberikan rasa aman dan
tenteram kepada warganya. Dalam situasi dimana negara terancam kedaulatan atau keutuhannya
maka pucuk pimpinan pemerintahan akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya atau Staat van
Oorlog en van Beleg (SOB). Keputusan tersebut diambil agar persoalan hidup bangsa dan negara
cepat teratasi. Demikian halnya dengan NKRI yang telah beberapa kali dinyatakan dalam SOB.
Masa perang
Belum genap setahun Indonsia merdeka, Presiden Soekarno menetapkan Indonesia dalam keadaan
bahaya (Staat van Oorlog en van Beleg). Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno sehari
setelah diculiknya PM Sutan Syahrir. Perculikan terjadi pada tanggal 27 Juni 1946 oleh lawan
politiknya pada saat berkunjung ke Solo. Hilangnya simbl kenegaraan tentu membuat pemerintah RI
yang masih muda itu bertekad untuk segera mengatasi. Dengan keputusannya itu presiden memiliki
kekuasaan penuh untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna penyelesaian yang cepat
dan tepat. Wewenang selanjutnya diberikan kepada pucuk pimpinan militer untuk dapat menguasai
keamanan dan ketertiban. Keadaan harus segera dapat dikendalikan agar tidak menjalar menjadi
konflik vertikal maupun horizontal.
Kejadian lain adalah pada waktu Belanda melakukan Agresinya pada tanggal 19 Desember 1948.
Pada wkatu Agresi Milier Belanda II pemerintahan negara RI benar-benar lumpuh, demikian juga
pemerintahan daerah. pucuk pimpinan pemerintahan ditawan oleh Belanda. Sedang aparat
pemerintahan daeah mengungsi menyelamatkan diri. Walaupun ada PDRI (Pemerintahan Darurat RI)
baik di dalam maupun di luar negeri tetapi tidakd apat berjalan sebagai mana mestinya. Situasi negara
Indonesia benar-benar berada dalam jurang kehancuran. Belanda senantiasa terus menyusun
organisasi pemerintahan bonekanya untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Dalam kondisi yang
sedang sakit Panglima Besar Jenderal Sudirman tetap bertekad untuk meneruskan perjuangan
bersenjata "met of zonder pemerintah".
Untuk mengantisipasi kevakuman pemerintahan maka PTTD (Panglima Tentara dan Teitorium Djawa)
dipimpinan Kolonel AH Nasution segera melakukan antisipasi. Tiga hari setelah agresi Belanda
segera menyatakan berlakunya pemerintahan militer seluruh Jawa. Pernyaaa tersebut kemudian
dikukuhkan dnegan Instruksi No 1/MBKD/1948 berisi tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer
di Indonesia tiga hari kemudian. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia yang sudah
"colaps" serta untuk membangkitnya kembali struktur pemerintahan yang sempat hilang sesuai
dengan tingkat komando kewilayahan. Setelah pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949
secara otomatis Pemerintahan Militer berakhir dan diserahkan kembali kepada pemerintahan sipil
tanpa konsesi apapun.
Masa parlementer
Dalam perjalanan selanjutnya bangsa Indonesia terus mengalami berbagai macam krisis yang
menganca dan membahayakan keutuhan NKRI. Krisis multi dimensional terutama diakibatkan oleh
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
tniad Page 2 of 7
tarik ulur kepentingan partai-partai politik. Sistem multi partai dan sistem parelementer telah menyeret
seluruh elemen bangsa dalam konflik vertikal maupun horizontal. Negara dijadikan sebagai kuda
beban untuk menarik kepentingan masing-masing partai politik. Sering terjadi bongkar pasang kabinet
karena tidak ada kompromi politik antar partai yang berkuasa. TNI yang pada waktu itu merupakan
organisasi yang otonom terus berusaha ditarik ke dalam lingkaran pengaruh atau kekuatan partai.
Negara betul-betul dalam kondisi instabilitas politik dan keamanan. Konstituante tidak dapat
menjalankan lagi fungsinya.
Bahkan pad atahun 1957 Konstituanter terjadi reses sampai batas waktu yang ti dak ditentukan.
Melihat gelagat yang kurang baik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara maka presiden
memaklumkan negara dalam keadaan bahaya. Tidak lama kemudian Kasad Jenderal Nasution
sebagai Penguasa Peang Pusat mengeluarkan larangan untuk melakukan kegiatna politik. Untuk
mengatasi kebuntuan poitik maka TNI (AD) mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk segera
kembali ke UUD 1945. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dektit Presiden tanggal 5 Juli 1959
untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Waktu G 30 S/PKI
Konstelasi politik di Indonesia awal tahun 1960-an tidak kunjung reda bahkan cenderung meningkat.
PKI (partai komonis Indonesia) semenjak Pemilu pertama tahun 1955 menjelma menjadi partai besar
dan sangat berpengaruh. Partai yang berideologi komunis itu berusaha terus melemahkan lawanlawan
politiknya, termasuk TNI/ABRI. Sebagai titik puncak konstelasi politik adalah pemberontakan
PKI tahun 1965 yang kita kenal dengan G 30 S/PKI. Suatu pemberontakan yang mengakibatkan
gugurnya putra-putra terbaik bangsa.
Sekali lagi ABRI tampil ke depan untuk mengatasi kemelut politik dan bersenjata dengan dibantu oleh
berbagai elemen masyarakat yang tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam
perjalanan selanjutnya ABRI/TNI terus berusaha memposisikan dirinya sebagai Tentara Rakyat,
Tentara Pejuang, dan Tentara Nasional.
Ada niat kudeta
Melihat dari awal perkembangan sejarahnya, TNI digariskan untuk tidak melakukan kudeta. Padahal
dalam situasi tertentu sebenarnya jalan untuk ke arah itu sangat memungkinkan dan mendukung.
Namun "merebut kekuasaan" tetap tidak dilakukan karena TNI terikat oleh kewajiban moril dan ikatan
emosional seperti yang telah digariskan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tekad tersebut
akan terus terpelihara dan tetap dipegang teguh oleh setiap prajurit yang Sapta Margais. Dalam suatu
pidatonya tanggal 5 Juli 1946 di Yogyakarta Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan antara
lain:
Pertama: "......Kini per satuan telah tergalang antara pemeritnah, tentara, dan rakyat... Meskipun di
sana-sini persatuan ini kadang- kadang terlihat retak tetapi pada umumnya persatuan bathin telah
terasa dan persatuan telah nampak....Pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara terus
berupaya untuk mencurahkan segala kekuatan guna keselamatan negara dari marabahaya sedang
mengancam...."
Kedua: ".....telah dikabarkan bahwa saya, Panglima Besar Jenderal Sudirman, akan merebut
kekuasaan dan akan menempati singgahsana kepala negara. Berhubung dengan desas desus
semacam ini maka dengan ini saya menyetakan kepada khalayak ramai bahwa saya tidak akan
berusaha ke jurusan itu, bahwa saya akan menolak apabila kursi presiden disodorkan kepada saya...".
Ketiga: "....Tentara tidaka akan ikut campur dalam lapangan politik.... Tentara terikat oleh sumpah
untuk tetap mempetahankan kemerdekaan dengan sebulat-bulatnya....".
Kalau kita jujur, bahwa perjalanan bangsa Indonesia ditaburi dengan kerjasama yang manis antara
sipil dan militer demi cita-cita proklamasi. Kesantunan dan keharmonisan hubungan dalam perjuangan
telah mereka contohkan dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa. Mereka berbeda
tetapi tidak untuk dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang berbeda adalah tentang tugas dan
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
tniad Page 3 of 7
tanggung jawabnya. Di negara manapun tidak ada perjuangan sipil dan militer semanis perjuangan
mereka di Indonesia. Dan tidak selayaknya kita membandingkan hubungan sipil-militer Indonesia
dengan negara lain karena masing-masing memiliki latar belakang sejarah yang berbeda- beda dan
telah mengalami proses/waktu yang panjang. Dikotomi sipil- militer sah-sah saja dilakukan dalam
rangka pendewasaan diri tetapi jangan sampai dipertentangkan. Kalau kiranya boleh diibaratkan
bawha hubungan sipil-militer di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya adalah seperti simbiose
mutualisma.
Berbeda bentuk dan rupa tetapi saling ketergantungan dan saling menguntungkan kedua belah pihak
dalam rangka mempertahankan hidup. Sipil-militer di Indonesia berbeda dalam tugas dan tanggung
jawabnya tetapi tetap memiliki tujuan yang mulia. Yaitu membela kelangsungan hidup bangsa dan
negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Penulis Mayor CAJ Drs M Amin Zuhri adalah, Kasi Sejarah Bintaldam IM
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
tniad Page 4 of 7
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
tniad Page 5 of 7
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
tniad Page 6 of 7
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
tniad Page 7 of 7
Copyright �2003 Dispenad, Jakarta-Indonesia. All rights reserved.
Webmaster: Dispenad.
Jalan Veteran Nomor 5 Jakarta Pusat
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005
Soebandrio; Kesaksianku
Soebandrio;
Kesaksianku tentang G30S
BAB I: PROLOG G-30-S
KONFLIK KUBU
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika
Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin
AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu
pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis
(PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan
menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to
hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno
menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi,
hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi
kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini
dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada
harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini
pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme &
imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk
menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung
oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya, mereka
malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan
melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA,
mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan
November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai
Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera
Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal.
Militer � dengan pasokan bantuan AS - seperti mendapat angin untuk menganggu Bung
Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer
yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus
dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung
Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga
unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu:
1. Unsur Kekuatan Presiden RI
2. Unsur Kekuatan TNI AD
3. Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan,
Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno
yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan
ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu
Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu
Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta
anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan
jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni
Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai
besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua
MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Landreform.
Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu
Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut
dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan
menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka
tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga
mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi
Nasution, itu adalah hal mudah.
Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk
Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke
dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution
menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai
politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD.
Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena
memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani).
Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik
dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di
belakang Nasution
Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu
bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution.
Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan
Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan,
tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif
pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution
dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad.
Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat
misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini
semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang
memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian
Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti
kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah
peta situasi yang sesungguhnya.
Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil
Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf
Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja
Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di
kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan
A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang,
pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah
dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu
nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik
anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya,
Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang
dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani
ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.
Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan
kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke
dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh
Nasution berubah menjadi sangat lemah.
Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir,
konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu
terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden.
Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen
Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya,
menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan
oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.
Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di
pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara,
Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung
berpihak kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal
tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya
Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak
datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu
diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan
penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang
sendiri dan hanya diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri
oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga
tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya
Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah
lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas
politik tak terbatas kepada Presiden RI.
Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual,
karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara
yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap
Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan
Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan
Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi
saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina,
Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi
pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain,
menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk
kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira
saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan
Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan
sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH
Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat
dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih
bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan
disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan
Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran,
tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru
teori Negara dalam Negara.
Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution,
ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution
pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh
Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto
berada di dalam Kubu Nasution.
Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika
kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap
pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia
tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia
Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS
dengan Nasution - dari perspektif AS � awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung
Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan
Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk
surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan
Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga
ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu
menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung
menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di
sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi:
Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga
dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani,
sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan
Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersamasama
Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan
menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh
Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng
aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak
berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia
sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan
itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama
sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik
nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok
Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah
permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama
berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana
pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta.
Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian:
Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro.
Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto
yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat
Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam.
Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung.
Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada
sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro.
Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi,
Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai
Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk
bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi
Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut
jabatan itu harus berpacu dengan waktu.
Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira
peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel
dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang
lain tidak.
Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto.
Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam
Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan
Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.
Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto.
Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut � dikatakan Yoga �
agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan,
menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah
benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa
pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan
operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya
adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali
tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.
Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi
rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan
Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang
sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang
Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro.
Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi
Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti
Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut
rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan
komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu
gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap
komplotannya dan berdalih mengamankan negara.
Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di
bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa
Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya,
20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah
kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku
salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu.
2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon.
Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom.
Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan
menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana
Negara Yogyakarta, esok harinya.
SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan
3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian:
Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag
berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh
kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada
saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik
menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan
penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.
Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik
arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto
menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik
sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan
kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi
sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak,
Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi.
Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno
dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag
sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para
pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan
militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis,
tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum
bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus
melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya
laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan:
Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa
kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak
mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada
pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera
menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang
bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai
di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga
tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk
empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian)
dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara
maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang
dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab
tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi � ini yang sangat penting � Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima.
Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang
sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan
lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah
para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi
Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk
di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah
isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan
Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir
jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya
pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir,
karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa
Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi
mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik �
apalagi membahas sejarah versi Orba � bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa
pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan
petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah
menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima.
Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat
angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi
pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut.
Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai
praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri
tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang
yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh
Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani
akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.
Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden,
beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot
dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat
menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang
kedua di AD, yakni Gatot Subroto.
Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika
diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia
menghadap Presiden.
BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR
BUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga
kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung
Karno pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah
sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT.
Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis.
Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini
menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI � yang saat itu
berhubungan mesra dengan Bung Karno � merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke
tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan
dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI
mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut
kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga
ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat
dikonfirmasi, karena pelakunya � Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT � ketiga-tiganya
tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai
meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak
jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr.
Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga
mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa
oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari
Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan
sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi
oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga
mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya
masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya,
sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa
pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan
keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung
Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa
karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional.
Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa
kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak
atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk
melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam
adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika
Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia
mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya
kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal.
Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan
mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada
lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya
sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak
diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar.
Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia
memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari
logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin
parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab
bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di
saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin
secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu.
Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk
mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika
PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab,
AD akan � dengan seolah-olah terpaksa � membalas serangan PKI. Dan, serangan AD
terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD
Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat
besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi
sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar,
dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh
mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah
diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara.
Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di
bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis
dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran
bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya
tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk
Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu.
Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat
angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok
perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira
yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya
adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya
merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima.
Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga
beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya,
Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana
pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik
dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri.
Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa � ia memang harus
tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung
gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara
menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu
Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan
oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya
simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI
(Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada
sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap
Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya
lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani
tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas
merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan
kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo
saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan
Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari
empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus
Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama
belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat
Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan
antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat.
Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang
membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal � menurut rekaman itu � adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini
sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya
rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat
orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat
provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang
semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa
Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist.
Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris
untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.
Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi
Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah
bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke
Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen
itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin
karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir
yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun
berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill
Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika.
Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai
golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari
rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada
atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan
Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya
tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang
berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama �our local army friends.�
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk
menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan,
padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku
kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat
saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno.
Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian
dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para
panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen
Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi
seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas.
Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk
memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya
mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang
menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan
pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti
itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan
suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi
pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan
aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk
dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S
meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan
saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal
sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada
Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak.
Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada
bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio
Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga
kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan
Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus � jika
memungkinkan � mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan
karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili
persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman
tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan
bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu
Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto
mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan
terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan
memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium
oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil
dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi
jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi
tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS
takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek
mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno.
Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan
secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei
Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang
dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan
Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan
lainnya � bagi AS � harus aman.
Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun
mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk
Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga
sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak
kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat
dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya
Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan � sehingga PKI masuk
ladang pembantaian � sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan
kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit
keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan
karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu
dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan
Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya
disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik,
namun mengapa dibocorkan?
Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan
obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia
tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah
bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu
sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI.
Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya
dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat
aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya
kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting.
Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI.
Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah
menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain
dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin
dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah
dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di
berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh
rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia).
Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah
Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin
pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones
menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu
adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada
Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya �
khusus untuk penghancuran komunis � terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara,
mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam
sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat
strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua
PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi
kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam
itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam
AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang
berdiri di dua kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus
1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga
Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu
dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia
sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya
pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30
September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh
Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari
setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak
yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan
dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi
dirinya sendiri.
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin
hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD
Abdul Latief � beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan
pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat
dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama
beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa
Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya,
sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari
fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat
saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya
pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan
dibeberkan di bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka
berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat
itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak
menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana.
Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB
ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu
Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden
Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra
Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu
membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anakbuahnya,
karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah
terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum
terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin
memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin
meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang
didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil
perwira AD. Di sisi lain, PKI � seperti sudah saya sebutkan di muka � saat itu memiliki massa
dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin
tajam.
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah
satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi
titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut
kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa
waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya
hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di
Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di
Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar,
memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi
dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak
mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto
mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya
sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang
juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani.
Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief
mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya.
Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu
enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah
disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang
berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur
kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda
khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas
keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah
diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu
tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal
Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief
tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene
berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar,
Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka
sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang
jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita.
Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan
pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik
dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi
pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan
balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur
ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis
belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur
tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka
terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan
pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa
Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar
Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah
beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief
dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto
ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan.
Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk
menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan
dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja �
menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh
lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti
tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan
pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di
Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar
karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan
Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti
disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya
Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan
lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief
juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya.
Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab
suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga
Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama
Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief)
memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat
Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta.
Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini
tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun
saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa
menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh
Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan
AD sudah semakin tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi
Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan
persahabatan � di luar jalur komando � Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting
pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah
menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata
Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu
oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo.
Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di
Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto.
Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan
Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung
memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.
Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,
kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu
bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia
menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu
secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto
dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung
bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya
hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan
Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga
terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto
mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah
Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung.
Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I.
Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini
didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan
penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan
Kostrad.
Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan
itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari
Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5
Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26
September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan
dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan
dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan
Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal.
Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965.
Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief
kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan
diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena
saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal
rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari
pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo
Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini
Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima
jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen
Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu
dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30
September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung
kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif
(panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada
urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang
menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada temantemannya
bahwa Soeharto berada di belakang mereka.
Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan
Untung: Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief
pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua
pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat
itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang
akan diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965
anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto)
ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965
banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara
yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu
atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup
yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi
untuk mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di
RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto
hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga
mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk
dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00
WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan,
sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum.
MELETUSLAH PERISTIWA ITU
Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah
yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan,
Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur.
Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri
Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian
kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya
ke Medan.
Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu
kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada
pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh,
pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat
was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta,
saya langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian
saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati.
Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet
sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara
darurat di dekat Bogor.
Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke
Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang
mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah
berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor.
Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang
kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak
buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari
para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian
seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian
tidak.
Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai
gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan
saya akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan
sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi
Soeharto sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada
Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa
waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang
tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal � termasuk bocoran
rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist.
Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka
laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih
bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya
di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat
meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota.
Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia
mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur
berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan
pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa
kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh
seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal.
Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal.
Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan
merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan
pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang
berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru
saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti
sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian
beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00
WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak
mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan sebagian besar
(kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat:
Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan
Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu,
beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam
keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto
mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan
tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat
membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat
melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia
memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya
ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka.
Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret
dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok
pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti
ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan
melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia
memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang
mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka
seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan
mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi
prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada
penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka
pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang
yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para
jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan
pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para
jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan
Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk
diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika
para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya
meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya
melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa
kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief
dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya
beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi
G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal
yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari
salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi C
Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di
militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya
terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung
adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk
rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari.
Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah
Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal
dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan
karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang
dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB.
Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide
Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar
isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden
Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih
mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan di
keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan
ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju,
jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu
terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk
ganti pakaian. Yani diberondong tembakan.
Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah
banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah
Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu
sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta
yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan
provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh
imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara
maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta.
Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara
pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan
aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di
satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi negara yang
merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim
sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan
kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari
konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara
mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia
Howard Jones � peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat
yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan
secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto.
DARI DETIK KE DETIK
Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri
Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai
penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun
menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut
tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana.
Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana.
Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan
Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke
tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika
pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan
terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.
Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu
bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno
belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau
diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen
Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul
di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan
AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar
Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah
Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang
ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa
Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi
menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang
memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat
bicara yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada
tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu
itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit
tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965,
Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan
melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi
bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal,
meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap
stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya
selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan
pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah.
Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena
gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas
disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawankawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang
akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk
mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini
didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota
dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di
Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun
pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya
menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari
daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah
anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -�mungkin hanya selisih beberapa
menit kemudian � Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang
berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan
waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad
Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari
Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah
disiapkan untuk menyerbu Halim.
Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung.
Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto.
Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika
Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno
meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan
agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar
Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-
II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah
jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia
harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor
- menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno
tiba di Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar.
Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab � seperti saya
sebutkan terdahulu � sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya
Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno
yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan
tentara seperti saat itu.
Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 � kepada Kapten Kuntjoro (ajudan
Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota
Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang
lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan
Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin
bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten
Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya.
Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta.
Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung
menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu
pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan
Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3
Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi.
Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu
kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto
memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan
nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena
menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu.
Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para
jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah
diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan
dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak
ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali
menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar
pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah
terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung.
Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga
diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani
diculik.
Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia
tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan
siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran
dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam
sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan
tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari
(care-taker) Menpangad.
Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok
bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan
mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan
pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali
karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan
bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku
kesaksian pelaku sejarah.
Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap
pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes,
Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk
memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU
yang diduga terlibat dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para
panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka
berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto
itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa
kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat
kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini
tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh.
Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para
jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah
mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang
kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad
Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa
namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden?
Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses
keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau
kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat
kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto
menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu
Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.
Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan
Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari
Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali?
Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan �
yang paling hati-hati � ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul
pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan
lain ceritanya.
Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan
Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor
memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun)
istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto
berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana?
Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena
mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap
begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi
apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri.
Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh
mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama
seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata
Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari
Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada
dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker
Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap
mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto
sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan
di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi
memiliki power untuk memimpin negara.
Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi
dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI,
tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai
sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.
Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3
Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini
kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah
ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja
nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai
dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama
menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto
untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di
luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad,
menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi
dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh
tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad.
Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak
mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan
Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung
Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa
Bung Karno malah menghentikan gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini
sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan
Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal.
Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan
salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan
kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya
disokong oleh Soeharto).
3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar
terwujud.
NASIB AH NASUTION
Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga
arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin.
Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah
menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah
(secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh
kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI
AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki
dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya
tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan.
Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah
pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan
manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar
tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling
ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution
sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan
Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah
bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka
pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama
besarnya.
Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia � seperti halnya Yani � tidak mewaspadai isu Dewan
Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu
tersebut. Dia benar-benar tidak tahu � bahkan tidak menduga � bahwa Soeharto yang
pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan
Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma
Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD
tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai
umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada
di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi
momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang
gagasan Bung Karno.
Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution,
tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima - adalah
sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu
dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu � 1 Oktober 1965 � Soeharto
memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta
bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk
mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di
Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan
para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak
Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan
Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes
ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke
Detik).
Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang
diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah
disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang
menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian
terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih
kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain
itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan
menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu
dipatuhi.
Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya
untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad.
Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari
pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul
lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil
beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak
pagi dan sudah hampir selesai.
Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi
biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting.
Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah
bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke
Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution
disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa
seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan
tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat.
Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil
dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun
dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto
berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution
dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis � baik dari
militer maupun sipil � ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad
saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai.
Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar
masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar
secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk
menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta,
ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran
Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak
perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke
Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno
minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
BAB IIIA: KUASA BERPINDAH
PERAN MAHASISWA
Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret
1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak
punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi
tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia
adalah Menpangad.
Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau
masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar
dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI,
namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun
Bung Karno akrab dengan PKI.
Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain
mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga
menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya
menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka
tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan
tertinggi ada empat tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4. Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira
yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat
saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus
melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya
sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya
pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.
Untuk mengimbangi � lebih tepat melumpuhkan � sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto
mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di
rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo
mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah
muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1. bubarkan PKI
2. bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3. turunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden - lantas membubarkan KAMI. Tetapi
setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden
Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa
berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan �66, kelompok yang
diprakarsai oleh Soeharto.
Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis
melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua
pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob
Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya:
inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai
300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah
operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang
paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro,
Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis
memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh
Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng
Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno
menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan
(dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.
Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus
diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung.
Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan
rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan
rakyat.
Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden
Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara
Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak
kelihatan.
Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga
bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian
dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto.
Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan
mereka didukung oleh tentara dan rakyat � dua kekuatan utama bangsa ini � sehingga sebagian
yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari
selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak
diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk
mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa
bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K
mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan
tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui
surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesatkan
masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain,
mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan
mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni � menurut saya �
adalah: bubarkan PKI.
Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah
tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K
mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo.
Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri
dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain
akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998.
Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan
situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di
dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober
1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.
Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi
negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk
membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu
susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah,
sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk
kekuasaannya.
Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam
Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh
mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan
cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak
akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat
bicara lain. Ayo�.Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno.
Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando�
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno
yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk
dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI.
Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu
dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.
Maka setelah itu - pada malam hari berikutnya � saya selaku Wakil Perdana Menteri-I
membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela
Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat
menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya
pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI,
pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang
keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para
pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain
menyerukan: tunggu komando�Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata
tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
SUPERSEMAR
Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan
pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya
Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti
pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat
penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil.
Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.
Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi
negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan
bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia
menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di
saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana
Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang
berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan
Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai
terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak
hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan
mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan
Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga
sudah setuju.
Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal.
Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri
peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil
digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadaphadapan
dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah
tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya
menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi
terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak
keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab
mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh
tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa
identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk.
Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian.
Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet � ia bersama Basuki
Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga
tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama
dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa
pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa
Soeharto adalah pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto:
1. dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung
Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka
perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak tewas.
2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para
demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil
sebagai presiden.
3. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi
Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk
menangkap Soeharto seketika itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah
nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh
berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan
tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga
disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian
pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya
singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar
meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas
menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin
karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh
peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi
genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburuburu
sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang � ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah � saya
sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya
mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno
yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik
siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya � dan mobil semua
menteri � sudah digembosi oleh para demonstran.
Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang
tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda
melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam
kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk,
tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur
(perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka
tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini
perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati
ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk
kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa
diketahui oleh para demonstran.
Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung
memburu Bung Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada
helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin
karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang
melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh
para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah � ketika
berlari menuju heli tanpa sepatu � saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran:
Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa
masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli,
tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke
Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung
Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk
membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung
Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target
penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan
hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa
banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya
yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3
Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung
untuk membantai para jenderal menjadi buktinya.
Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir
Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah
di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami
bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka
di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun.
Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke
ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada
kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir
Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung
Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi
intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1. mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan
unsur-unsur kekuatan lainnya.
2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan
dilaksanakan
3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung
Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya
tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali
keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan.
Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan
Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat
unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar
yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa
melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang
begitu penting.
Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi.
Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya.
Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju?
Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu
melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang
terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.
Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak..
Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya
terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.
Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken
(tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang
mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam
bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah
berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya,
pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat
diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15
menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada
Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam
dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri,
alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan
rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni:
para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja
ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang:
terlibat G30S/PKI � tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto
berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung
Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan
Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto
membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak
kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
-habisi para jenderal saingan
-hancurkan PKI
-copoti para menteri
-jatuhkan Bung Karno.
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.
Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan
Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk
mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena
kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena
protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak
Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa.
Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam,
tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami
tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di
setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan
Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya
masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis
terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi
pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi adalah:
1. Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2. Waperdam-II Chaerul Saleh
3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7. Menteri Pertambangan Armunanto
8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
11. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi�i
13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto
tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional.
Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang
melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada
tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan
Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan:
Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang
sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?
MELENGGANG KE ISTANA
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno.
Setelah Supersemar � ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia �
Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para
menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu.
Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI � yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman
� ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak
memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh
Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan
tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum
yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak
ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu
diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto
terlibat G30S.
Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan
bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI
dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh
MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah
mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.
Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan.
Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman
mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan
800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi
Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang
mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar
Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal
diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung
Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan
perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari
kemudian � 5 Juli 1966 � MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban
Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera
menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak
itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan
Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta
Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab
G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar
Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka
semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto
melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI)
secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan
MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu
Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus
dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN.
Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai
pertanggung-jawaban.
Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau
peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober
1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan
Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto
memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat
antara tahun 1960 hingga 1963.
Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas
tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto
agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di
dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar
dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti
pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung
Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan
kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.
Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan
Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan
kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden
oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar
menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran
sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI)
DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara.
Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia
sendiri.
Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
- Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya
- Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS
memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai
dengan Pemilu yang akan datang
- Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan
mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto
hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.
- Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS.
- Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang
berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet
bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak).
Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang
dilakukan secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah
kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI.
Saat itu � bahkan sampai sekarang � saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat
unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan
situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua
dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto
memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi
kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara
merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan
nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat
itu begitu kuat.
AKHIR HAYAT UNTUNG
Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa
dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan �
seperti naik banding dan kasasi � sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus
menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang
nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati.
Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang
yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah
Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di
penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman
mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih
tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir.
Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani
hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar
terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan
panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu memberitahukan
bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari
Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu.
Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat
itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi.
Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa
saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa.
Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati
kami tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat
suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan
tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak
jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan
kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita
ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan
dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak
menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka
bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa
tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia
mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan.
Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh
kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa.
Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan
semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang
untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia
berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi
mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah
perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di
luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya
sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung
kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan
penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak
takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi � inilah keajaiban � Presiden Amerika
Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya,
mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa
hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu � ini juga ajaib � hampir sama.
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak
terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu
dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting
bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat
singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati.
Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya
ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka.
Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi
pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari
sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam
penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi.
Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua.
Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua
negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain.
Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya
tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa berani
mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman
mati menjadi hukuman seumur hidup.

Sumber: http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Sejarah/Dua Biografi Terkait Supersemar Bag 1_txt.txt